Friday 10 March 2017

Tunggu Saja

Begitu ujar Ayahku dalam mimpi.

Dahulu, sebelum datang sebuah mimpi yang entah pertanda apa. Saya, adalah pecandu mimpi. Tidak jarang mulai memejamkan mata dengan berbagai harapan. Tidak jarang, salah satu harapan yang saya panjatkan; Kamu, hadir dalam semesta yang saya buat.

Pernah. Suatu hari, kamu hadir dalam mimpi. Hanya tersenyum, lalu mengajakku berlari–ke tempat tertinggi, sebuah bukit. Tidak banyak yang saya ingat, selain genggaman erat tanganmu.
Mimpi itu hanya satu malam, Sayang. Satu malam. Namun potongan-potongan bersamamu seperti mengkristal.

“kamu serius dengan dia?” Ujar Ayahku.

Pada suatu malam. Dari ribuan malam, ini adalah pertama kalinya, belahan jiwa yang cintanya tak pernah padam, Ayah, hadir dalam mimpi saya, lalu saya mengangguk.

“Tunggu saja,” Ujarnya lagi. Kali ini berbeda, Sorot mata yang kukenali, lebih banyak bicara selain dua kata yang Ayah katakan.

Apa yang harus saya tunggu, Yah?” Tanyaku.

Tidak ada jawaban. Hanya ada tatapan kuat dan belaian lembutnya serta genggaman tangan. Erat.

Lalu Saya terbangun. Namun bukan ketenangan yang saya dapatkan, melainkan air mata lebih dulu hadir sebelum kesadaran saya penuh. Deras, ada sesak yang tertahan, ada ketakutan yang tidak dapat diungkapkan. Juga, ada pertanyaan besar yang siap meledak saat itu juga.

Jika memang semua pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban. Untuk keduanya bertemu, yang dibutuhkan hanya waktu.

Benar seperti yang Ayah katakan, Tunggu saja?

Tapi apa yang harus saya tunggu?

Bandung, 10 Maret 2017
Wida.

No comments:

Post a Comment

Percakapan Dini Hari

"Partikel. Kamu kenapa suka sekali tokoh Zarah Amala?" "Dia pemberani." Sambil melihat halaman demi halaman buku yan...