Monday 12 February 2018

Kosong

pukul satu kurang 2 menit, tiba-tiba pesan whatsapp muncul dari salah seorang teman.
Masih belum bisa tidur?
dan jawaban yang terlintas bukan kalimat, melainkan senyum getir.
belum, but it’s alright.
saya balas tanpa memakai emoticon senyum atau bahkan sedih. mungkin berharap bahwa jawaban tersebut sebagai penggerak agar saya benar-benar melakukannya, benar-benar bahwa saya memang baik-baik saja.
Kamu nggak baik-baik saja. mau sampai kapan kayak gini?
saya terdiam.

dengan satu sentuhan, saya hapus percakapan dengannya. pertanyaannya membuat saya merasa memang sudah saatnya melepas semua yang terjadi 2 tahun lalu. banyak cara untuk pergi dari sini.

dimulai dari membuka folder screenshot percakapan lewat BBM, WA bahkan FB yang dengan sengaja selalu saya simpan, atau beberapa tulisan tentangnya saya simpan, atau sebuah foto kereta api yang saya minta waktu dia bilang pergi keluar kota, atau tangkapan layar saat hampir 3 jam dini hari dia dengan sabar berbicara banyak hal lewat telepon.

saya kirim ke tong sampah virtual.

walaupun sudah lama memilih tidak berkomunikasi, nyatanya (ketika sedang bodoh) saya membaca dan mengingat kembali chat dengannya, scrolling percakapan yang saya kirim. Itu juga ikut saya giring ke tong sampah, tanpa sisa.

kemudian saya beranjak, memeriksa beberapa benda yang secara langsung maupun tidak ada hubungannnya dengan dia.

3 bingkai foto, diary pemberian temannya (sahabat saya), parfum yang kebetulan saya pakai sama dengan temannya, beberapa hasil foto box yang tergantung di tembok kamar, pena yang tidak sengaja kami beli sama-sama, sendok yang saya jadikan hadiah ulang tahun, namun satunya saya minta dan temannya berikan tanpa argumen.

bahkan di antara benda remeh temeh dan murah, ikut terlipat baju kemeja yang harganya cukup mahal, saya beli di antar temannya; baju yang dia pilihkan untuk saya pakai saat lomba karya tulis nasional.

lalu pada akhirnya saya sadar bahwa di setiap sudut kehidupan saya, di lingkaran pertemanan saya, di tempat-tempat pelosok sekali pun, akan selalu ada dia. potongan-potongan tersebut akan berpotensi menjadi sumber yang mengingatkan saya padanya.

sederhana, karena dia ada di mana-mana.

termasuk, hati saya.
senyumnya. warna orange yang seakan-akan mengingatkan saya pada almamaternya. kereta api, alat transportasi yang selalu kami bicarakan bahkan janji untuk bersama-sama naik yang sudah berubah hanya sebatas angan-angan. segala hal tentang teknik sipil. pun dengan McD*n*ld’s yang merupakan tempat pertama dan terakhir kami bertemu.

maka dengan sengaja saya memilih giat belajar, melahap jurnal-jurnal untuk dijadikan sumber TA. bahkan di akhir pekan atau waktu luang saya habiskan menonton banyak drama agar bebas dari pengaruhnya. pun ketika sedang di kamar, saya lebih banyak memutar musik dengan keras; berharap dinding kamar dan suara dari playlist yang saya putar melindungi saya dari kenangan-kenangan tentangnya.

dua tahun semenjak kejadian bersejarah itu; dimana saya mendapatkan pertanyaan satu milyar dolar dari salah seoarang teman; ternyata proyek pribadi yang saya jalankan mulai menunjukan hasil yang berarti. keberadaannya di pikiran maupun hati saya mulai terkikis, tinggal noda-noda membandel yang meskipun mengganggu tetap sulit saya hilangkan.

namun sayang, proyek besar ini, mungkin, sebelumnya tidak saya rencanakan dengan matang. saat dia berhasil sedikit demi sedikit saya enyahkan dari pikiran, justru sekarang, hati saya terasa kosong.

Wida,
Bandung, 12 Februari 2018

No comments:

Post a Comment

Percakapan Dini Hari

"Partikel. Kamu kenapa suka sekali tokoh Zarah Amala?" "Dia pemberani." Sambil melihat halaman demi halaman buku yan...